Max Regus
Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI; Parrhesia Institute Jakarta
BADAN
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) sudah mencibir kita dengan laporan seputar mutu manusia Indonesia.
Kemerosotan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia, yang dihidangkan dalam
laporan UNDP, seolah menyelip di antara kesibukan rezim Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) membenahi postur dan penampilan kabinet beberapa waktu lalu.
Rilisan IPM versi UNDP serentak berjejer diantara sekian banyak persoalan pelik
yang antre menunggu penanganan penuh dan ketegasan para penguasa negeri ini.
Pengungkapan UNDP seputar IPM Indonesia bisa saja diperdebatkan dengan
beragam perspektif kritis. Namun, pesan utama yang terkandung di dalam konklusi
mencemaskan itu tidak boleh lenyap di tengah bising verbalisasi reaktif dari
panggung kekuasaan. Seolah, UNDP telah keliru menetapkan standar dan variabel
pengukuran sehingga angka IPM Indonesia terbenam terlalu dalam di gelapnya
kegagalan.
Media Indonesia menyiapkan dua edisi (5-6/11) untuk mengulas laporan UNDP yang
berhubungan dengan IPM Indonesia. Dua hal terungkap dalam ulasan-ulasan
tersebut. Pertama, kecurigaan bahwa politik pembangunan belum sepenuhnya
berorientasi pada kemanusiaan. Manusia belum menjadi subjek pembangunan.
Pengobjekan humanitas menyebabkan pembangunan nasional terjerembab dalam
kalkulasi akumulasi keuntungan sekelompok orang. Fokus pembangunan, pada
perbaikan kualitas kemanusiaan, terbengkelai secara masif. Editorial Media Indonesia (6/11), ‘Mutu Manusia
Indonesia’, benar untuk persoalan tersebut.
Kedua, autokritik harus berakhir pada evaluasi progresif terhadap
segenap politik dan pendekatan pembangunan nasional. Memperbanyak gedung dan
kemegahan fisik tidak memiliki makna sama sekali ketika manusia semakin
telantar karena dengungan mesin pembangunan. Korelasi negatif antara bujet
pembangunan pendidikan dan kualitas manusia Indonesia dalam perspektif laporan
UNDP menegaskan kelalaian politik kekuasaan menjaga prioritas pembangunan di
negeri ini. Pembangunan manusia Indonesia bukan saja tidak serius, Media Indonesia (6/11), melainkan
cenderung terhimpit di antara kompetisi politik kekuasaan yang tiada kenal
lelah.
Sustainable Development
Menyimak kemerosotan mutu manusia Indonesia menumbuhkan kecurigaan
seputar disorientasi politik pembangunan kita. Keterjebakan dalam sirkulasi
kekuasaan yang dikendalikan para pelaku politik dengan target-target jangka
pendek yang sarat kerakusan menyebabkan pembangunan kehilangan basis
kemanusiaan.Ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan yang bersentuhan dengan
kemanusiaan yang multidimensional tergantikan secara drastis oleh raupan
keuntungan-keuntungan ekonomi yang bisa masuk kantong kekuatan politik yang
sedang bermain di panggung kekuasaan.
Bila berada di zona berbahaya itu, politik pembangunan dengan lekas akan
kehilangan salah satu prinsip paling mendasar, yaitu keberlanjutan kehidupan.
Kemunduran mutu manusia mencederai prinsip fundamental tersebut. Ada
bayangan kelam tentang masa depan manusia Indonesia, terutama ketika kita
hendak memproyeksikan bangsa ini dalam ruang globalisasi dan pasar bebas.
Ketersediaan modal ekonomi dan sumber daya alam yang semakin menipis
mengusik orang untuk melihat bagaimana manusia di dalam dirinya menjadi titik
pangkal perintisan sejarah masa depan yang lebih baik.Giles Atkinson dkk dalam
buku Handbook of Sustainable Development
(2007) secara gamblang menyebutkan sisi-sisi utama aspek keberlanjutan
pembangunan. Akumulasi modal ekonomi, sekaligus keuntungan yang dapat diraih di
dalamnya, harus digeser ke sisi kemanusiaan sebagai acuan utama sistematika
pembangunan. Hitungan tidak lagi tertuju pada besaran saldo pembangunan saja,
tetapi lebih kepada bagaimana pembangunan memajukan kualitas kemanusiaan.
Infrastruktur
Keheranan kita berhadapan dengan penilaian UNDP, berkaitan dengan
jebloknya aspek pendidikan yang justru mendapatkan perhatian utama dalam
manifesto APBN dengan kucuran dana paling dominan, sangat beralasan. Edward
Carpenter, dalam Current Intelligence
Magazine (10/12/2010) pada artikel berjudul ‘Indonesia’s Infrastructure
Problem’, menyebutkan Indonesia pascakrisis satu dekade lalu merupakan potret
negara yang unik.
Indonesia memiliki kesempatan dan tantangan yang unik. Dengan mengutip
pernyataan pelaku ekonomi Chairul Tanjung, Carpenter memprediksikan
perkembangan perekonomian Indonesia secara progresif untuk menjadi kekuatan
lima besar ekonomi dunia pada 2030 mendatang. Prediksi dan proyeksi seperti
itu, jika mempertimbangkan modal sumber daya (alam) yang melimpah, tentu bukan
isapan jempol belaka. Kita sudah seharusnya mematok target setinggi langit.
Namun, tidak kurang pula banyaknya persoalan pelik yang menghantam
bangsa ini. Terutama, ujian-ujian sosial dan politik yang tidak pernah usai.
Kejahatan korupsi yang semakin masif, dalam ruang kekuasaan (politik) nasional
dan lokal, telah memerosokkan sendi-sendi kehidupan kenegaraan. Hukum tidak
memandu bangsa ini menuju keadilan. Sebaliknya, hukum menyediakan dirinya
sebagai arena pertarungan kekuatan dengan keleluasaan mengorbankan keadilan dan
kebenaran.
Penyelenggaraan kekuasaan yang tidak dilandasi keseriusan penegakan
hukum di level tertinggi kekuasaan telah menumbuhkan banyak pertanyaan di
sanubari rakyat.
Ketidakpercayaan pada politik merupakan suasana sosial yang secara
perlahan tumbuh dari waktu ke waktu. Ketidakpercayaan pada politik itu
menumbuhkan sikap apatis di benak publik. Kelambanan pembangunan infrastruktur
sosial, politik, ekonomi, dan hukum menyebabkan pembangunan nasional tak
memiliki basis untuk menegakkan mutu kehidupan manusia Indonesia. Laporan UNDP
niscaya melecut kesadaran kita untuk mengevaluasi pilihan-pilihan tindakan
politik pembangunan yang tidak menjawab aspek-aspek fundamental kehidupan
manusia.
Kurikulum
Politik pembangunan yang dijalankan secara serampangan akan segera
terlihat dalam akumulasi kegagalan menumbuhkan kualitas kehidupan warga politik.
Kita bisa memastikan bahwa kemerosotan mutu manusia Indonesia pasti berhubungan
dengan sebagian dari kita (masyarakat) yang tidak memiliki akses secara adil
terhadap sumber daya dan hasil-hasil terbaik pembangunan. Selain itu, sebagian
warga yang rentan terhadap persoalan-persoalan sosial-ekonomi tidak mempunyai
proteksi politik yang memadai untuk menghindarkan mereka dari efek tragis
ketidakpastian politik dan perubahan sosial di level global.
Negara bisa saja mengajukan argumentasi secara detail tentang
keberpihakan anggaran pembangunan bagi kehidupan publik, seperti pendidikan,
kesehatan, dan urusan primer lainnya. Namun, argumentasi yang sama akan menuai
sinisme sosial manakala sebagian besar warga negara seolah menjauh dari medan
pembangunan. Kenyataan seperti itu akan memunculkan--meminjam apa yang ditulis
Jared Diamond dalam buku yang berjudul Collapse:
How Societies Choose to Fail or Succeed (2005)--keterpojokan sebagian warga
negara dalam sederet ketidakberdayaan sosial, ekonomi, dan politik. Bayangan kegagalan
lebih mendominasi wilayah publik ketimbang optimisme sosial terhadap pengungkapan
bahasa pembangunan dalam kebijakan pro-poor.
Kebijakan politik yang mendukung ekologi kehidupan warga miskin semestinya menjadi
substansi kurikulum pembangunan nasional.
Kurikulum pembangunan nasional niscaya merefleksikan dan menjawab
persoalan kerakyatan. Sesuatu yang harus ditegaskan secara berulang di hadapan negara
pada semua level kekuasaan. Bukan saja penumpukan anggaran pembangunan pada aspek-aspek
vital kehidupan yang mampu mendongkrak mutu kehidupan manusia Indonesia,
melainkan bagaimana negara mempertanggungjawabkan setiap sendana pembangunan
untuk kehidupan rakyat yang paling miskin.
Kelalaian negara mengurus persoalan asasi ini akan menyebabkan pembangunan
nasional kehilangan pesona di mata sebagian warga sah bangsa ini. Alhasil, kita
memang menyaksikan proses degenerasi pembangunan dalam bentuk-bentuk yang
semakin parah, seperti halnya yang dikisahkan UNDP.