Jumat, 11 November 2011

Media Indonesia, Kamis 10 November 2011
Max Regus
Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI; Parrhesia Institute Jakarta

BADAN Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) sudah mencibir kita dengan  laporan seputar mutu manusia Indonesia. Kemerosotan indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia, yang dihidangkan dalam laporan UNDP, seolah menyelip di antara kesibukan rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membenahi postur dan penampilan kabinet beberapa waktu lalu. Rilisan IPM versi UNDP serentak berjejer diantara sekian banyak persoalan pelik yang antre menunggu penanganan penuh dan ketegasan para penguasa negeri ini.
Pengungkapan UNDP seputar IPM Indonesia bisa saja diperdebatkan dengan beragam perspektif kritis. Namun, pesan utama yang terkandung di dalam konklusi mencemaskan itu tidak boleh lenyap di tengah bising verbalisasi reaktif dari panggung kekuasaan. Seolah, UNDP telah keliru menetapkan standar dan variabel pengukuran sehingga angka IPM Indonesia terbenam terlalu dalam di gelapnya kegagalan.
Media Indonesia menyiapkan dua edisi (5-6/11) untuk mengulas laporan UNDP yang berhubungan dengan IPM Indonesia. Dua hal terungkap dalam ulasan-ulasan tersebut. Pertama, kecurigaan bahwa politik pembangunan belum sepenuhnya berorientasi pada kemanusiaan. Manusia belum menjadi subjek pembangunan. Pengobjekan humanitas menyebabkan pembangunan nasional terjerembab dalam kalkulasi akumulasi keuntungan sekelompok orang. Fokus pembangunan, pada perbaikan kualitas kemanusiaan, terbengkelai secara masif. Editorial Media Indonesia (6/11), ‘Mutu Manusia Indonesia’, benar untuk persoalan tersebut.
Kedua, autokritik harus berakhir pada evaluasi progresif terhadap segenap politik dan pendekatan pembangunan nasional. Memperbanyak gedung dan kemegahan fisik tidak memiliki makna sama sekali ketika manusia semakin telantar karena dengungan mesin pembangunan. Korelasi negatif antara bujet pembangunan pendidikan dan kualitas manusia Indonesia dalam perspektif laporan UNDP menegaskan kelalaian politik kekuasaan menjaga prioritas pembangunan di negeri ini. Pembangunan manusia Indonesia bukan saja tidak serius, Media Indonesia (6/11), melainkan cenderung terhimpit di antara kompetisi politik kekuasaan yang tiada kenal lelah.
Sustainable Development
Menyimak kemerosotan mutu manusia Indonesia menumbuhkan kecurigaan seputar disorientasi politik pembangunan kita. Keterjebakan dalam sirkulasi kekuasaan yang dikendalikan para pelaku politik dengan target-target jangka pendek yang sarat kerakusan menyebabkan pembangunan kehilangan basis kemanusiaan.Ukuran-ukuran keberhasilan pembangunan yang bersentuhan dengan kemanusiaan yang multidimensional tergantikan secara drastis oleh raupan keuntungan-keuntungan ekonomi yang bisa masuk kantong kekuatan politik yang sedang bermain di panggung kekuasaan.
Bila berada di zona berbahaya itu, politik pembangunan dengan lekas akan kehilangan salah satu prinsip paling mendasar, yaitu keberlanjutan kehidupan.
Kemunduran mutu manusia mencederai prinsip fundamental tersebut. Ada bayangan kelam tentang masa depan manusia Indonesia, terutama ketika kita hendak memproyeksikan bangsa ini dalam ruang globalisasi dan pasar bebas.
Ketersediaan modal ekonomi dan sumber daya alam yang semakin menipis mengusik orang untuk melihat bagaimana manusia di dalam dirinya menjadi titik pangkal perintisan sejarah masa depan yang lebih baik.Giles Atkinson dkk dalam buku Handbook of Sustainable Development (2007) secara gamblang menyebutkan sisi-sisi utama aspek keberlanjutan pembangunan. Akumulasi modal ekonomi, sekaligus keuntungan yang dapat diraih di dalamnya, harus digeser ke sisi kemanusiaan sebagai acuan utama sistematika pembangunan. Hitungan tidak lagi tertuju pada besaran saldo pembangunan saja, tetapi lebih kepada bagaimana pembangunan memajukan kualitas kemanusiaan.
Infrastruktur
Keheranan kita berhadapan dengan penilaian UNDP, berkaitan dengan jebloknya aspek pendidikan yang justru mendapatkan perhatian utama dalam manifesto APBN dengan kucuran dana paling dominan, sangat beralasan. Edward Carpenter, dalam Current Intelligence Magazine (10/12/2010) pada artikel berjudul ‘Indonesia’s Infrastructure Problem’, menyebutkan Indonesia pascakrisis satu dekade lalu merupakan potret negara yang unik.
Indonesia memiliki kesempatan dan tantangan yang unik. Dengan mengutip pernyataan pelaku ekonomi Chairul Tanjung, Carpenter memprediksikan perkembangan perekonomian Indonesia secara progresif untuk menjadi kekuatan lima besar ekonomi dunia pada 2030 mendatang. Prediksi dan proyeksi seperti itu, jika mempertimbangkan modal sumber daya (alam) yang melimpah, tentu bukan isapan jempol belaka. Kita sudah seharusnya mematok target setinggi langit.
Namun, tidak kurang pula banyaknya persoalan pelik yang menghantam bangsa ini. Terutama, ujian-ujian sosial dan politik yang tidak pernah usai. Kejahatan korupsi yang semakin masif, dalam ruang kekuasaan (politik) nasional dan lokal, telah memerosokkan sendi-sendi kehidupan kenegaraan. Hukum tidak memandu bangsa ini menuju keadilan. Sebaliknya, hukum menyediakan dirinya sebagai arena pertarungan kekuatan dengan keleluasaan mengorbankan keadilan dan kebenaran.
Penyelenggaraan kekuasaan yang tidak dilandasi keseriusan penegakan hukum di level tertinggi kekuasaan telah menumbuhkan banyak pertanyaan di sanubari rakyat.
Ketidakpercayaan pada politik merupakan suasana sosial yang secara perlahan tumbuh dari waktu ke waktu. Ketidakpercayaan pada politik itu menumbuhkan sikap apatis di benak publik. Kelambanan pembangunan infrastruktur sosial, politik, ekonomi, dan hukum menyebabkan pembangunan nasional tak memiliki basis untuk menegakkan mutu kehidupan manusia Indonesia. Laporan UNDP niscaya melecut kesadaran kita untuk mengevaluasi pilihan-pilihan tindakan politik pembangunan yang tidak menjawab aspek-aspek fundamental kehidupan manusia.
Kurikulum
Politik pembangunan yang dijalankan secara serampangan akan segera terlihat dalam akumulasi kegagalan menumbuhkan kualitas kehidupan warga politik. Kita bisa memastikan bahwa kemerosotan mutu manusia Indonesia pasti berhubungan dengan sebagian dari kita (masyarakat) yang tidak memiliki akses secara adil terhadap sumber daya dan hasil-hasil terbaik pembangunan. Selain itu, sebagian warga yang rentan terhadap persoalan-persoalan sosial-ekonomi tidak mempunyai proteksi politik yang memadai untuk menghindarkan mereka dari efek tragis ketidakpastian politik dan perubahan sosial di level global.
Negara bisa saja mengajukan argumentasi secara detail tentang keberpihakan anggaran pembangunan bagi kehidupan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan urusan primer lainnya. Namun, argumentasi yang sama akan menuai sinisme sosial manakala sebagian besar warga negara seolah menjauh dari medan pembangunan. Kenyataan seperti itu akan memunculkan--meminjam apa yang ditulis Jared Diamond dalam buku yang berjudul Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed (2005)--keterpojokan sebagian warga negara dalam sederet ketidakberdayaan sosial, ekonomi, dan politik. Bayangan kegagalan lebih mendominasi wilayah publik ketimbang optimisme sosial terhadap pengungkapan bahasa pembangunan dalam kebijakan pro-poor. Kebijakan politik yang mendukung ekologi kehidupan warga miskin semestinya menjadi substansi kurikulum pembangunan nasional.
Kurikulum pembangunan nasional niscaya merefleksikan dan menjawab persoalan kerakyatan. Sesuatu yang harus ditegaskan secara berulang di hadapan negara pada semua level kekuasaan. Bukan saja penumpukan anggaran pembangunan pada aspek-aspek vital kehidupan yang mampu mendongkrak mutu kehidupan manusia Indonesia, melainkan bagaimana negara mempertanggungjawabkan setiap sendana pembangunan untuk kehidupan rakyat yang paling miskin.
Kelalaian negara mengurus persoalan asasi ini akan menyebabkan pembangunan nasional kehilangan pesona di mata sebagian warga sah bangsa ini. Alhasil, kita memang menyaksikan proses degenerasi pembangunan dalam bentuk-bentuk yang semakin parah, seperti halnya yang dikisahkan UNDP.

Kamis, 08 September 2011

Page; 14, OPINI KAMIS, 8 SEPTEMBER 2011, Media Indonesia


Max Regus
Alumnus Pascasarjana Sosiologi Universitas Indonesia dan Parrhesia Institute Jakarta

MEDIA INDONESIA menulis sebuah berita dengan judul ‘Uang Suap Disebut THR untuk Muhaimin’, mengawali kisruh suap paling anyar selepas Lebaran (Jumat, 2/9). Dugaan kejahatan suap-menyuap (korupsi) di Kemenakertrans seolah menjadi halaman terakhir dari buku riwayat kejahatan para koruptor yang (sedang) belum selesai ditulis para penulisnya, entah sampai kapan. Buku itu semakin tebal. Halaman terakhir menutupi halaman sebelumnya. Halaman-halaman sebelumnya pun sudah lenyap dari ingatan publik.
 
Kesimpulan sementara yangdapat ditarik dari halaman-halaman buku kejahatan korupsi ini ialah orang-orang yang memiliki hubungan dengan berbagai cara dan penampilan dalam pusat kekuasaan selalu memiliki alasan dan kekuatan untuk memformulasikan eksekusi kebijakan politik yang menguntungkan diri dan kelompok mereka. Membuat ‘intensi suap’ sejajar dengan ‘uang THR’ hanya dapat dilakukan orang-orang yang merasa memiliki kekuasaan.
 
Mereka akan menikmati semacam korupsi impunitas saat semua kekejian terungkap di permukaan dan menjadi perbincangan publik. Selain itu, mereka beranggapan akan menerima segala macam kekebalan hukum. Itu menjadi sebuah ironi yang sangat pahit, sebab puluhan ribu buruh di beberapa tempat harus memperjuangkan THR mereka sebelum Lebaran ketika para elite Kemenakertrans bisa mematok ‘angka THR miliaran rupiah’.
 
Membangun paradigma kekuasaan dalam kerangka meraup keuntungan ekonomi secara membabibuta memperlihatkan bukti-bukti tidak terbantahkan dari segenap aksi-aksi koruptif di medan kekuasaan. Itu kenyataan yang tidak terbantahkan. Apakah kesediaan Menakertrans Muhaimin Iskandar menghadap ke KPK mampu mengurai kinerja para mafia yang berada di sekitar kursi kekuasaannya?
 
Sektor publik
Nazaruddin, Partai Demokrat, Kemenakertrans, dan semua kekuatan politik dominan di Indonesia sekarang ini tidak bisa dengan enteng meluputkan diri dari tuduhan melakukan kejahatan politik. Apalagi dengan lekas menganggap kebusukan korupsi tidak menjadi bagian dari urusan partai hanya dengan memecat kader-kader yang sempat ketahuan terlibat dalam skandal politik. Ini harus disadari secara sungguh-sungguh, sebab partai politik tidak hanya memiliki tanggung jawab politik internal, tetapi juga tanggung jawab politik eksternal. Aspek tersebut harus lebih ditonjolkan ketika kekuatan-kekuatan politik berada di level pelaksanaan kebijakan publik dengan banderol anggaran yang tidak pernah sedikit. Angka Rp500 miliar sebagai uang percepatan pembangunan infrastruktur proyek transmigrasi di 19 kabupaten bukanlah jumlah yang tidak banyak. Angka itu pasti menjanjikan keuntungan yang tidak sedikit sehingga harus direbut dengan teknik dan taktik abnormal.
 
Pendapat Alberto Vannuci, dalam artikel Corruption, Political Parties and Political Protection (2000), menegaskan koneksitas tidak terbantahkan antara kiprah dan kinerja partai politik di ruang politik. Sebagai jalan meraih kekuasaan di segenap institusi politik publik, parpol dan pelaku politik niscaya berurusan dengan kehidupan orang banyak! Mereka tidak pernah sendirian menikmati madu kekuasaan yang memang tersebar di departemen-departemen politik pembangunan.
 
Lihat saja bagaimana nama Nazaruddin berada di banyak proyek pembangunan. Menyedot dana pembangunan untuk kepentingan sempit kekuatan politik akan merusak kehidupan publik secara fundamental. Macetnya sirkulasi kemakmuran sosial merupakan implikasi paling mencemaskan dari segenap operasi mesin kejahatan korupsi.
 
Dengan ungkapan yang lebih konkret, kejahatan politik korupsi berdiri sejajar dengan kemiskinan sosial yang terus mencekik publik. Wolfgang Sachs menulis artikel yang bagus dengan judul Development: A Guide to the Ruins (The New Internasionalist, June, 1992) untuk melukiskan akhir tragis pembangunan.
 
Menurut gagasan tersebut, pembangunan ketika ada dalam genggaman para elite politik kekuasaan yang gampang silau melihat begitu banyak uang bertebaran di sekitar mereka niscaya meniti jalan menuju kerusakan absolut.
 
Kejahatan politik
Sesuai pendapat RA Johnson dan S Sharma, dalam buku The Struggle Against Corruption: A Comparative Study, political crime (kejahatan politik) merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan bagaimana korupsi telah menemukan bentuk paling menakutkan, frekuensi tindakan yang sangat tinggi, dan implikasi yang mematikan. Tiga hal itu telah menjelaskan secara gamblang bahwa korupsi merupakan formula populer kriminalisasi ruang publik.
 
Operator kejahatan politik cenderung muncul dari kekuatan-kekuatan politik yang dominan. Mereka memegang kendali atas semua jaringan kekuasaan paling strategis. Ini sejajar dengan dua gagasan penting yang dikemukakan Edgardo Buscaglia dan Jan V a n D i k , Controlling Organized Crime and Corruption in the Public Sector (2003).
 
Pertama, dengan ungkapan the abuse of public power for private gain, korupsi (koruptor) mengunci energi politik untuk kemakmuran sosial di titik ketidakberdayaan. Legitimasi demokratis kekuatan politik untuk melayani rakyat mengalami kerusakan absolut akibat egoisme politik kekuasaan.
 
Kedua, transnasionalisasi kejahatan politik merupakan puncak akumulasi kegagalan banyak negara yang berada dalam suasana demokrasi transisional untuk menemukan bentuk terbaik dari democratic framework pada semua aspek kehidupan. Barangkali itu dapat menjelaskan bagaimana seorang Nazaruddin dengan mudah menyembunyikan diri dengan bepergian dari satu negara ke negara lain beberapa waktu lalu.
 
Barbarisme
Tanda-tanda ketidakberdayaan negara dalam mengurus Nazaruddin--sesudah Partai Demokrat merasa tidak memiliki tanggung jawab politik terhadap kadernya itu—akan berpeluang memunculkan rangkaian sikap serupa. Sebab hal ini akan menjadi contoh terbaik yang bisa dimanfaatkan para penjahat politik di lain waktu. Kita tidak tahu apakah dugaan kasus suap di Kemenakertrans yang terungkap sekarang meneladani kasus-kasus busuk yang terjadi sebelumnya. Yang pasti, di ujung dari semua kejahatan ini, demokrasi akan terus memasuki suasana yang semakin buruk.
 
Hal lain yang tidak bisa dianggap remeh--dengan mengacu pada pandangan dan sikap politik yang diperlihatkan para penguasa sekarang ini—ialah korupsi sudah menemukan titik pijakan untuk menjadi organized political crime. Kejahatan politik sudah terorganisasi! Mereka ada di mana-mana. Pada titik tersebut, apa pun taktik dan strategi yang ditempuh negara dan elemen masyarakat untuk melawan kejahatan politik, merujuk pada pendapat Jeff Huther dan Anwar Shah dalam Anti-Corruption Policies and Programs (2001), mereka mungkin menemui jalan buntu. Bahkan, kejahatan politik terorganisasi akan membelit lembaga-lembaga yang dibentuk dan menyediakan diri sebagai kekuatan antikorupsi.
 
Sungguh, bangsa ini perlu memikirkan jalan perlawanan radikal terhadap apa yang disebut Bernhard-Henri Levy dalam judul kecil--a stand against the new barbarisme—pada bukunya Left in Dark Times (2009). Memperlakukan kekuasaan yang sifatnya sementara untuk mengakumulasikan profit ekonomi tanpa batas bagi orang-orang lingkaran utama kekuasaan merupakan bentuk barbarisme kekuasaan paling tengik sekarang ini. Inilah akar kejahatan korupsi sekaligus titik paling krusial dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi saat ini.
 

Sabtu, 02 April 2011

Angket dan Publik

Max Regus

Menyimpan kebebasan dan demokrasi dari kepunahan (Glenn W Smith, 2004).

Demikian Glenn W Smith menuliskan keterangan pendek untuk judul buku yang memberi inspirasi, The Politics of Deceit (2004). Politik kebohongan secara cepat akan mengirim kemerdekaan dan demokrasi pada lubang kepunahan.

Mirip, itulah yang ditegaskan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menanggapi banyaknya dugaan aliran dana Bank Century ke kantong kubu politik Partai Demokrat pada pemilu lalu. Fitnah politik akan mendangkalkan makna demokrasi dan meniadakan keadaban politik (Kompas, 2/12).

DPR menyetujui adanya hak angket untuk menelusuri kasus Century. Sebuah usaha menemukan kebenaran dan keadilan. Bukan saja untuk Presiden SBY yang merasa terfitnah dengan penyudutan, tetapi semua pihak, terutama publik Indonesia. Ini terkait tujuan yang lebih hakiki. Apa yang paling digelisahkan pada hari-hari terakhir ini adalah kemerdekaan untuk mengutarakan apa yang bersih dalam politik, serentak mendapat apa yang baik dari kekuasaan. Bukan kebohongan, bukan kepalsuan. Keduanya sedang mengancam tata kelola demokrasi kita.

Disparitas
Menguatnya determinasi politik (kekuasaan) merupakan perspektif penting untuk menjelaskan kondisi Indonesia saat ini. Wacana elitik di ranah politik menegaskan jarak sosial kekuasaan terhadap publik. Publik harus mendefinisikan keberadaannya dalam keriuhan perbincangan elite politik untuk mendapatkan identitas sebagai warga politik. Dalam ruang semacam ini cenderung mudah bagi kekuasaan untuk menyembunyikan keburukan dan kejahatan.

Disparitas politik akan menjadi sumber munculnya aneka kecelakaan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang kian akut seperti sekarang. Ironisnya, berbagai implikasi destruktif yang mencuat dari keadaan semacam ini justru langsung menghantam rakyat. Para penguasa menghabiskan banyak waktu untuk menuntaskan ketidakberesan yang dilakukan sendiri dengan imbas pengabaian kebutuhan publik.

Tak dapat dimungkiri, gejala pembenaran atas aneka tindakan yang dalam dirinya mengandung kejahatan sudah membentang begitu rupa menutupi akal sehat publik. Benar apa yang ditegaskan Martin van Creveld dalam The Rise and Decline of The State (1999), keruntuhan negara terjadi saat ”nurani publik” tidak lagi menjadi bagian pertimbangan negara dan pemerintahan.

Komitmen
Secara fundamental, anggota DPR merupakan kristalisasi ”nurani publik” dalam konteks keadilan kasus Century. Di sini, jauh melampaui alasan formal-yuridis tiap blok politik, sebenarnya ada kebutuhan besar tentang kualifikasi personal tiap wakil rakyat untuk menyelesaikan perkara memalukan ini. Semestinya kegelisahan publik sudah berpindah ke dalam kesadaran politik wakil rakyat. Tahu apa yang harus dilakukan untuk menuntaskan kebuntuan jalan menuju keadilan.

John Gledhill (2004) dalam Power and Its Disguises mengetengahkan dua aspek penting yang harus dimiliki tiap pelaku politik dan kekuasaan untuk menciptakan budaya politik beradab. Pertama, yang harus dimiliki adalah intimasi personal terhadap krisis politik yang berimbas pada kehidupan publik politik. Secara konsisten, intimasi mengandung keprihatinan atas masalah kebangsaan (politik). Serentak terpanggil pada pelibatan politik personal untuk memperjuangkan apa yang baik dan benar untuk kebaikan bersama.

Ada kesetiaan menapaki jalan terjal menuju kejujuran demi membungkam banyak perkara yang merusak publik. Setia pada perjuangan populis adalah pengorbanan yang harus diberikan secara konsisten oleh para pejabat politik (kekuasaan). Di titik ini, seorang pemimpin politik atau yang mewakili rakyat harus berani memberikan diri tidak mengambil kesempatan kepentingan diri.

Itulah komitmen. Tidak sebatas janji pada publik, tetapi ketekunan pada panggilan pribadi untuk berdiri di pihak yang benar dan menerobos apa yang dianggap menghalangi jalan menuju keadaban demokrasi politik. Janji politik pada diri sendiri yang diikuti dengan kesetiaan pada kebenaran dan keadilan.

Responsibilitas
Komitmen politik bukan konsep kosong yang hanya didiamkan di sanubari pejabat politik, tetapi terungkap dengan gagah berani. Ada pilihan politik terkait Century. Inilah momentum yang tepat untuk mengungkap komitmen pada kebaikan publik. Maka, aspek kedua yang amat penting adalah responsibilitas politik para pemimpin dan wakil rakyat.

Sekian banyak pilihan politik membentang di hadapan masalah pelik seperti Century sebagai salah contoh mutakhir. Dibutuhkan pemimpin yang gesit mendengarkan suara rakyat, cekatan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Responsibilitas adalah deskripsi dari maturitas politik dan peradaban demokrasi. Ini mengandaikan adanya keberanian melintasi kepentingan diri dan kelompok. Dua aspek ini akan menentukan apakah wakil rakyat dan penguasa yang sedang mengurus angket Century di negeri ini bisa memperlihatkan kebenaran kepada rakyat. Keadilan yang diberikan kepada publik.

Max Regus Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI

http://cetak.kompas.com/read/2009/12/03/0259005/angket.dan.publik